Jumat, 20 April 2012

Jebakan Hutang dan Jebakan Politik

Jebakan Hutang dan Jebakan Politik


Oleh: Nuim Hidayat
“Jebakan hutang dan jebakan politik adalah senjata maut untuk menghancurkan sebuah negara”
Negara kita sejak merdeka, tak lepas dari dua jebakan ini. Jebakan hutang dan jebakan politik. Soekarno presiden pertama Indonesia, terkena jebakan politik. Politik Rusia dan Cina. Soeharto terkena jebakan kedua-duanya, Jebatan politik dan hutang dari negara-negara Barat. Presiden Habibie meski ‘terbebas’ dari jebakan hutang, terbelit dengan jebakan liar demokrasi Barat. Presiden Megawati terbius dengan ‘sihir Barat’ dalam demokrasi dan sistem ekonominya. Presiden Gus Dur tak jauh beda. Malah ia terseret lebih jauh dalam konspirasi Barat melanggengkan negara Israel, dengan mencoba menjalin hubungan dengan negara Zionis Yahudi itu. Gus Dur pun tidak sadar berbangga-bangga ria mendapat Shimon Peres Award.
Bagaimana dengan Presiden SBY yang sekarang? SBY nampaknya tidak mengambil pelajaran pemerintahan-pemerintahan di masa lalu. Mungkin latar pendidikannya yang “American” menyebabkan ia senang hal-hal yang berbau negara adi daya itu. Dan memang SBY telah diicar lama oleh intelijen-intelijen AS untuk menjadi presiden Indonesia ‘melawan’ Amien Rais. Bagaimanapun Amien –meski ia lulusan AS– tapi kekritisan dan pribadi tokoh Muhammadiyah ini bila memegang jabatan tertinggi di negara ini dianggap bisa menghancurkan kepentingan-kepentingan AS di Indonesia dan di dunia.
Barat –Amerika, Inggris dan sekutunya– memang telah berpengalaman membentuk sebuah negara, merekayasa pemimpin sebuah negara, mendidik pemimpin-pemimpin yang akan memegang jabatan-jabatan penting di sebuah negara dan juga berpengalaman menjatuhkan –juga menghinakan– sebuah pimpinan negara.
Pengalaman Inggris Amerika menjatuhkan Sultan Abdul Hamid II di Turki dan merekayasa berdirinya negara Israel Mei 1948, adalah sebuah pengalaman yang tidak bisa disepelekan. Siapa dibalik Inggris dan Amerika itu? Mereka yang berperan dalam mengambil keputusan di dua negara adi daya itu adalah tokoh-tokoh Yahudi.
Demokrasi adalah jebakan politik maut yang digulirkan ke dunia Islam atau ke negara-negara dunia ketiga. Demokrasi yang dalam sejarahnya berasal dari rahim Barat –yaitu Yunani– dianggap sesuatu yang ideal bagi barat dan diharuskan negara-negara yang ‘dikuasainya’ menerapkan sistem ini.
Maka tidak heran, ahli-ahli politik barat, seperti Huntington, Fukuyama atau Leonard Binder selalu mengukur keberhasilan sebuah negara dengan ukuran demokrasi. Mereka yang keluar dari ukuran ini dianggap negara terbelakang, otoriter atau kurang berperadaban. Karena itu, mereka yang belajar ilmu politik Barat mulai dari S1 sampai dengan S3 bahkan post doctoral, selalu mengukur keberhasilan=keberhasilan sebuah negara dengan tolok ukur demokrasi. Tolok ukur kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, kebebaaan organisasi dan lain-lain. Bila sebuah negara menghukum mati orang murtad (orang yang keluar dari Islam misalnya), negara itu dikatakan tidak demokratis. Bila seorang kepala negara yang beragama Islam tidak menghadiri perayaan Natal misalnya, dikatakan kepala negara itu tidak toleran, tidak demokratis dan seterusnya.
Maka dalam sistem demokrasi ini pluralisme –yang menjadi aqidah Islam Liberal– menjadi wajib adanya. Negara harus membiarkan ajaran-ajaran Kristen disebarkan oleh para pendeta, meskipun negara itu Kristennya cuma 10 persen misalnya. Negara harus mengajarkan kepada murid-murid dari seluruh tingkatan bahwa semua agama sama, sama-sama diridhai Allah SWT, sama-sama masuk surga atau selamat di akhirat nanti.
Dalam demokrasi, akhirnya agama hanya sekedar asesoris belaka. Sekedar slogan atau tempelan untuk pantas-pantasan bagi seseorang atau warganya. Negara sendiri atau aparat pemerintahnya harus sekuler. Yakni aparatnya harus memisahkan agama dari urusan-urusan negara. Para ulama tidak boleh ikut campur dalam menyusun Undang-undang termasuk Undang-undang Dasar Negara. Ulama atau ahli agama Islam, cukup bertabligh saja di umatnya. Ulama diposisikan sebagai pendeta, rabbi, bhiksu atau ‘agamawan lainnya’ yang haram ikut dalam urusan politik. Meski seringkali terjadi ulama dilarang berpolitik tapi diam-diam para pendeta berpolitik aktif dibalik layar. Dan itulah yang terjadi di Indonesia selama ini.
Adakah kebebasan –yang merupakan inti demokrasi– dalam Islam? Jawabnya tentu ada. Bahkan bukan hanya ada, tapi kebebasan yang hakiki hanya ada dalam Islam. Bila demokrasi atau kebebasan barat memperbudak manusia satu dengan yang lainnya, dengan jabatan, uang dan pangkat, maka Islam membebaskan perbudakan manusia dengan manusia lain. Dalam Islam semua manusia adalah derajatnya sama. Sama-sama mengabdi kepada Tuhan yang satu, Allah SWT. Sama-sama harus mengikuti petunjuk Rasulullah saw, apakah itu presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, artis, pegawai negeri, pebisnis, guru, mahasiswa, murid, suami, istri dan lain-lainnya. Kesetaraan atau keadilan sejati hanya ada di Islam.
Jebakan politik selain dilakukan ke sistem sebuah negara, juga dilakukan ke individu-individu yang berpengaruh atau tokoh-tokoh di negara itu. Bagaimana caranya? Bermacam-macam. Kadang dengan pemberian-pemberian gelar, dengan award-award, dengan pemberian beasiswa, dengan undangan-undangan seminar luar negeri, dengan undangan-undangan kunjungan dan lain-lain.
Tidak heran bila tokoh-tokoh Islam sering diundang negara-negara Barat untuk seminar di negaranya. Dan biasanya tokoh kita akan bangga dan ‘besar kepalanya’ bila diundang mereka. Apalagi kemudian diberikan tepuk tangan yang membahana ketika presentasi. Dan itulah ‘tragedi intelektual’ yang terjadi di negara kita. Azyumardi Azra, Musdah Mulia, Syafii Maarif, Hasyim Muzadi, Hidayat Nur Wahid terjebak dalam ‘politic trap’ ini. Sehingga akhirnya mereka seringkali berkomentar kurang menggembirakan terhadap ‘gerakan-gerakan Islam fundamentalis’ di Indonesia. Mereka seringkali menyerukan agar umat Islam Indonesia ikut dalam sistem demokrasi yang dirancang ‘dengan sempurna’ oleh barat ini. Musdah Mulia atau Ulil Abshar Abdalla lebih kacau lagi dengan menggelontorkan ide Islam Liberal di Indonesia. Dimana ujung dari Islam Liberal ini, bila dari segi aqidah adalah mengajak kemusyrikan, dari segi politik adalah mengajak kepada demokrasi Barat seutuhnya. Alias mengajak ke sekulerisme dan memisahkan setegas-tegasnya antara Islam dengan kehidupan bernegara (mudah-mudahan secepatnya mereka bertobat dengan ajakan yang sangat membahayakan ini).
Bantuan ekonomi atau debt trap (jebakan hutang) sebenarnya merupakan bagian dari jebakan politik. Kenapa demikian? Karena negara yang dibantu oleh institusi-institusi negara Barat apakah WHO, IMF, IGGI (dulu) atau PBB dengan lembaga-lembaga di bawahnya, memastikan negara itu tidak boleh keluar dari program sang pendonor. Sang majikan akan terus memantau digunakan apa saja bantuan itu. Maka tidak mungkin bantuan itu akan mengalir ke proyek-proyek atau organisasi-organisasi yang kritis atau melawan barat. Makin besar bantuan ekonomi Barat mengalir ke sebuah negara, maka makin terperosok negara itu dalam gurita kekuasaan Barat. Dan negara kita Indonesia tercinta ini telah merasakan kepahitannya.
Barat memang telah berpengalaman dalam membentuk sebuah negara, menghancurkannya atau membangunnya kembali. Bahkan mereka juga berpengalaman dalam mempromosikan atau menghancurkan seorang tokoh di sebuah negara. Juga berpengalaman mendidik orang-orang cerdas agar nanti menjadi tokoh di sebuah negara. Maka tidak heran di negara kita kenapa sejak merdeka ‘tidak ada tokoh-tokoh yang berlatar Islam yang kuat’ yang tampil memimpin negeri ini. Ya karena mereka menganggap bahaya bila tokoh ini muncul, karena bisa menghancurkan kepentingan-kepentingan dan lebih jauh bisa menghancurkan ideologi mereka yang telah mereka pegang ratusan dan mungkin ribuan tahun lalu.
Ideologi Barat yang bersumber dari Romawi Yunani dan Yahudi memang ideologi yang ‘meniadakan Tuhan’ alias menempatkan Tuhan di bawah manusia (ideologi komunis adalah ideologi yang lebih esktrim lagi, karena meniadakan Tuhan). Ideologi ini menempatkan manusia dan pemikirannya sebagai ‘Tuhan’. Ideologi ini menempatkan otak atau akal adalah segalanya. Segala yang masuk akal, yakni yang terindera oleh manusia, adalah bisa dipercayai. Segala yang tidak terindera oleh alat indera manusia harus ditolak. Maka ujung dari ideologi ini adalah meniadakan para Rasul atau para Nabi sebagai utusan Tuhan. Dan meniadakan apa yang dibawa para Nabi dan Rasul itu sebagai pedoman dalam kehidupan manusia. Maka Nabi Muhammad saw yang lahir pada 571 Masehi dan mukjizat Al Qur’an yang dibawa beliau dianggap tidak ada oleh mereka.
Mereka selalu menyatakan –dan ini terus dilestarikan oleh tokoh-tokoh intelektual mereka– bahwa teladan Nabi Muhammad saw itu hanyalah cocok untuk masa lalu. Masa kini harus diatur sendiri oleh otak manusia. Untuk masa modern ini tidak cocok diatur dengan petunjuk-petunjuk pada masa tradisional atau primitif itu, begitu kira-kira mereka mengatakan. Maka dalam tradisi mereka, Al Qur’an hanya boleh diterapkan di masjid belaka. Bibel pun hanya sebagai pajangan atau pantas-pantasan atau simbol saja bagi mereka dalam perkawinan, pelantikan pejabat negara atau lainnya. Karena dalam hati dan otak mereka sebenarnya tidak mempercayai agama sedikitpun.
Kekacauan Bibel dan kerusakan tingkah laku para pendetanya, menjadikan orang-orang Barat muak terhadap agama Kristen ini. Mereka –sebagian besar– berpandangan bahwa orang-orang yang mempercayai Bibel adalah orang yang tidak menggunakan otaknya. Dan mereka trauma terhadap pengalaman masa lalu mereka, dimana ketika para pendeta memegang pemerintahan –abad pertengahan– masyarakat mereka menjadi rusak, tidak berpengetahuan, percaya-percaya kepada takhayul dan menjadi ‘budak para pendeta’. Karena itu ketika Revolusi Perancis mereka mempunyai semboyan “berikan hak kaisar kepada kaisar, berikan hak gereja kepada para pendeta”.
Para pendeta pada masa itu memang melakukan hal-hal yang mengerikan. Di Spanyol, bekerjasama dengan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella mereka membunuhi ratusan ribu orang Islam dan ribuan orang Yahudi (baca sejarah mengerikan inkuisi di masa itu). Mereka juga membunuh para intelektual yang menyuarakan pendapat berbeda dengan pemikiran para pendeta. Hingga ahirnya muncullah Martin Luther yang melahirkan aliran Protestan dan tokoh-tokoh yang menolak adanya Tuhan (Kaum Ateis/Komunis). (Baca Buku Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, GIP)
Tapi dua aliran ini sebenarnya keluar dari jurang yang satu masuk ke jurang yang lainnya. Atau keluar dari ‘devil trap’ satu masuk ke ‘devil trap‘ lainnya. Martin Luther ternyata menunjukkan kesombongannya yang luar biasa sambil mengecam Katolik ia mengecam Al Qur’an dan Nabi Muhammad habis-habisan. Ia menyebut Nabi Muhammad sebagai tokoh syetan (baca buku Adnin Armas tentang Bibel yang diterbitkan GIP). Begitu juga tokoh-tokoh Komunis, seperti Hegel, Karl Marx, Stalin dan lain-lain mendewa-dewakan akal atau otak manusia dan meyakini mereka sendiri yang ‘menciptakan otak’ itu. Mereka menentang para diktator dan para penguasa otoriter, tapi ketika mereka memerintah seringkali malah lebih diktator dan lebih kejam dari yang mereka protes. Ideologi komunis adalah ideologi dendam atau ideologi marah.
Bagaimana dengan Yahudi? Kaum Yahudi –terutama tokoh-tokohnya– memang orang-orang yang licik meski pintar. Sejak zaman nabi Musa as hingga Nabi Muhammad saw mereka telah menunjukkan kelicikannya. Rasulullah saw terus menerus diprovokasi oleh kaum ini hingga Rasulullah saw wafat. Rasul saw harus berperang berkali-kali menghadapi persekongkolan jahat kaum ini. Mulai dari provokasi mereka ketika di Madinah (bahkan juga di Mekkah), hingga masa sahabat dan terus masa tabiin, tabiiut tabiin, hingga ‘masa sekarang’.
Di masa modern kita lihat bagaimana kelicikan Yahudi dalam permainan politik dunia. Mulai dari menghancurkan khilafah Islamiyah di Turki, mendirikan negara Israel, ‘menguasai’ negara Saudi, mendirikan universitas-universitas di negeri-negeri Islam (seperti American University di Kairo dll), hingga mendirikan studi-studi Islam di negara-negara Barat. Mereka bekerjasama dengan intelektual-intelektual Kristen dan Ateis (bahkan intelektual Islam pun ia undang untuk memberi beberapa mata kuliah), untuk memainkan politik di dunia ini. Dan banyak intelektual-intelektual Islam terjebak dalam permainan politik Yahudi yang canggih ini. Yang paling mencolok mata adalah rekayasa-rekayasa politik pendidikan Yahudi untuk menampung tokoh-tokoh Islam yang diusir dari negeri-negeri Islam. Tokoh-tokoh ini diusir dari negeri-negeri Islam itu karena tokoh-tokoh ulama yang sholeh di sana setelah meneliti serius, tokoh itu mempunyai prinsip yang berkeyakinan menyimpang dari aqidah atau Syariat Islam. Fazlurrahman dan Nas Hamid Abu Zaid adalah diantara tokoh-tokoh itu.
Mereka juga menggelontorkan dana milyaran ke negeri-negeri Islam, untuk menyukseskan ideologi sekuler mereka. Di samping menampung anak-anak muda cerdas dari negeri-negeri Islam itu untuk dididik di negeri mereka. Negeri kita menjadi lahan yang empuk dalam garapan politik pendidikan mereka ini. Banyak anak-anak muda yang cerdas, di samping karena kesulitan ekonomi, yang bermimpi belajar di negeri-negeri Barat karena tawaran-tawaran yang menggiurkan dari beasiswa mereka. Mahasiswa-mahasiswa IAIN banyak yang terperosok dalam jebakan politik pendidikan ini.
Ketika berangkat mereka masih menjadi santri yang alim, ketika pulang mereka menjadi pelajar atau intelektual yang menzalimi agamanya sendiri. Mereka tidak sadar –atau sadar karena mengikuti hawa nafsunya– telah menjadi ‘boneka’ atau intelektual tukang kaum Yahudi. Melihat Islam dengan memakai cara berfikir tokoh-tokoh yang anti Islam atau non Islam. Mereka didorong menjadi analis-analis Islam atau peneliti-peneliti Islam bukan didorong menjadi ulama atau pejuang Islam. Hingga tidak heran ketika pulang ke dalam negeri mereka selalu kritis terhadap Al Qur’an, As Sunnah, ulama-ulama islam yang sholeh tapi kurang kritis kepada Barat dan tokoh-tokohnya. Hingga mahasiswa-mahasiswa di IAIN atau perguruan tinggi umum, akhirnya menjadikan barat sebagi puncak peradaban manusia. Barat dengan tokoh-tokoh intelektualnya dianggap sebagai model atau panutan dalam berfikir. Bahkan sebagai cita-cita tertingginya.
Dan politik pendidikan ini menjebak negeri-negeri Islam, juga negeri-negeri dunia ketiga lainnya dalam kurun ratusan tahun lamanya.
Jebakan politik ini juga terjadi dalam sistem politik di Indonesia. Belanda memang telah meninggalkan Indonesia tahun 1945, tapi warisan sistem politiknya (termasuk politik ekonomi, politik hukum, politik pendidikan, politik budaya, politik militer dan politik ideologi) telah ditancapkan dengan sangat kuat ke negeri kita.
Hingga akhirnya ketika berbicara hukum, tak bisa lepas dari hukum Belanda. Berbicara pendidikan tak lepas dari sistem pendidikan yang diwariskan Belanda (tecermin dari buku-buku sejarah yang mengajarkan kehebatan tokoh-tokoh non islam atau peradaban-peradaban non Islam yang selalu diagung-agungkan di negeri ini). Begitu pula berbicara sistem politik yang lainnya.
Maka jangan heran kemudian terjadi kerumitan politik yang luar biasa di negeri ini. Mulai dari tampilnya tokoh-tokoh politik badut atau tokoh-tokoh politik yang minim kemampuan sampai pencurian uang rakyat yang gila-gilaan (Tentu mereka juga harus dihukum sesuai dengan UU yang berlaku bila mereka melakukan penyelewengan. Dari sini KPK diuji integritasnya untuk berani memeriksa tokoh-tokoh politik, mulai dari menteri, anggota-anggota DPR hingga presiden. Dan hukuman ini diperlukan agar pencuri-pencuri itu –saya lebih suka pakai bahasa pencuri, karena kata korupsi terlalu halus– merasakan penderitaan rakyat miskin. Yang sehari-hari mereka kadang makan hanya sehari sekali atau kadang tidak makan karena tidak punya uang, sulitnya membeli obat bila keluarga mereka sakit, tidak bisa bepergian kemana-mana karena tidak punya uang di sakunya dan tidak mampunya mereka menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi. Bila tidak demikian mereka sulit jera dan ‘penyakit menular berbahaya’ ini bisa menyebar ke masyarakat luas).
Walhasil agar negeri kita menjadi adil dan makmur tidak ada jalan lain kecuali kembali ke Islam. Kembali lagi meneriakkan ‘Allaahu Akbar’ sebagaimana para pejuang Islam dulu yang maju tak kenal menyerah mengusir Belanda, Jepang dan tentara sekutu dari negeri kita. Tanpa jiwa Islam –mengisi dada dengan butir-butir Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw- maka negeri kita akan terus menjadi ‘bancakan’ negara-negara besar, baik dalam politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Di samping dasar negara atau undang-undangnya harus berdasar pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw, maka pemimpin-pemimpinnya –dari semua lini– harus menjadikan Islam sebagai landasan dalam berfikir dan bertindak. Bila tidak, maka Debt Trap, Politic Trap, Evil Trap dan Devil Trap akan terus menguasai negeri kita.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita menyerahkan segala urusan dan bertawakkal. ‘Wakaana haqqan alainaa nashrul mu’miniin.’ Walaahu aziizun hakiim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar