Jumat, 20 April 2012

Indonesia Tanpa Sepilis: Membongkar Makar Ideologi AS dan Kaki Tangannya (1)

Indonesia Tanpa Sepilis: Membongkar Makar Ideologi AS dan Kaki Tangannya (1)

Oleh, Artawijaya (Editor Pustaka Al Kautsar)
Menyikapi upaya segelintir orang yang terdiri dari kelompok liberal, begundal, gay, homo, dan lesbi yang menyuarakan propaganda pembubaran ormas yang bergerak dalam penegakkan amar ma’ruf nahi munkar, maka umat Islam yang mayoritas di negeri ini perlu bersatu, menggalang dukungan, dan mencanangkan program umat: “Indonesia Tanpa Sepilis.” Sepilis adalah akronim dari Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme, kumpulan ideologi sesat yang telah difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia. Tulisan bersambung ini akan membongkar makar ideologi AS dan para kompradornya di Indonesia yang menjajakan dan mengasong ideologi kotor, Sepilis!
Rand Corporation, lembaga nirlaba asal Amerika Serikat pada 2007 silam menurunkan hasil penelitian dan laporan berjudul “Building Moderate Moslem Networks” yang ditulis oleh Angel Rabasa, Cheryl Bernard, Lowell H. Schwartz, dan Pieter Sickle. Sebagai lembaga think tank, hasil penelitian dan laporan Rand Corporation sering digunakan oleh pemerintah AS sebagai rekomendasi untuk menerapkan kebijakan negeri Paman Sam itu di berbagai belahan dunia, khususnya negara-negara Islam. Seperti tertera dalam laporan tersebut, penelitian tentang “Membangun Jaringan Muslim Moderat” disponsori oleh Smith Richardson Foundation, sebuah yayasan yang berdiri sejak tahun 1935.
Smith Rachardson Foundation memiliki konsen pada dua isu penting yang sangat berpengaruh bagi kepentingan hegemoni AS, yaitu International Security (Keamanan Internasional) dan Foreign Policy (Kebijakan Luar Negeri). Karenanya, yayasan ini mensponsori penelitian tentang bagaimana menciptakan “Jaringan Muslim Moderat” di berbagai belahan dunia. Meski tak secara jelas tersirat, namun arah dari upaya membangun jaringan muslim moderat ini sangatlah jelas, yaitu meredam, meminimalisir, bahkan menghapuskan sama sekali kelompok-kelompok yang mereka cap sebagai “ekstremisme Islam” dan menjadi ancaman bagi hegemoni AS. Inilah arah dari program besar mereka.
Sebagai negara yang mengaku super power, AS berusaha mengamankan “national interest” (kepentingan nasional) mereka, yang lagi-lagi anehnya, AS seolah mengklaim national interest mereka tersebar di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. AS tidak ingin national interest mereka itu terganggu oleh kelompok-kelompok anti Amerika, yang bisa berakibat pada runtuhnya hegemoni mereka. Ironisnya, upaya untuk mengamankan national interest AS dilakukan dengan cara menjajah negeri-negeri kaya, mengeruk hasil buminya, dan menyebarkan permusuhan terhadap kelompok fundamentalis yang berpegang teguh pada upaya-upaya penegakkan syariat Islam. Penjajahan bidang ekonomi, dilakukan dengan cara menekan pemerintah, G to G, agar membuat kebijakan yang menguntungkan imprealisme mereka. Sementara penjajahan dalam bidang sosial, politik, budaya, dan pemikiran dilakukan dengan cara menciptakan “potential partner” (partner potensial) untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai “ekstremisme Islam.”
Siapa saja potensial partner yang direkomendasikan oleh Rand Corporation kepada AS?
Pada ranah sosial, prioritas yang akan dirangkul oleh AS untuk membangun saluran propaganda hegemonis mereka dan memerangi ekstremisme Islam adalah: Pertama, intelektual atau akademisi yang sekular dan liberal. Kedua, cendekiawan muda religius yang moderat. Ketiga, komunitas aktivis (sekular). Keempat, kelompok perempuan yang aktif dalam propaganda kesetaraan gender. Kelima, jurnalis dan penulis moderat. Elemen-elemen tersebut diharapkan bisa menjadi corong propaganda dengan program-program pendidikan demokrasi, jaringan media moderat untuk melawan media-media konservatis Muslim yang anti terhadap demokrasi, memasarkan ide kesetaraan gender, dan melakukan advokasi.
Dalam pembukaan riset papernya tersebut, Rand Corporation menulis, “Kelompok radikal telah sukses melakukan intimidasi, marginalisasi, dan pembungkaman terhadap kelompok muslim moderat…bahkan di Indonesia kelompok radikal relatif telah melakukan upaya pemaksaan dan ancaman kekerasan untuk mengintimidasi kelompok yang berseberangan dengan mereka. Ulama-ulama radikal telah mengeluarkan fatwa yang bisa menjadi otorisasi bagi pembunuhan kelompok liberal yang dianggap murtad…”. Rand Corporation menegaskan, kelompok Muslim moderat, liberal, dan sekular, adalah kelompok yang bisa dijadikan partner potensial dalam melawan kelompok radikal/ekstremis Islam.Khusus untuk kelompok moderat, Rand Corporation menambahkan istilah moderat tradisionalis, termasuk kalangan sufi.
Berikut penjelasan dan definisi mengenai ketiga partner potensial AS dalam memerangi apa yang mereka sebut “ekstremisme Islam”:
Pertama, Kelompok sekular. Didefinisikan oleh Rand Corporation sebagai mereka yang menolak campur tangan agama dalam urusan negara, dan berusaha membuat undang-undang sekular sebagai konstitusi negara. Bagi mereka, negara tak boleh memasukkan nilai-nilai agama tertentu, yang kemudian mengintervensi hak-hak mereka secara luas. Karena itu ketika Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi digulirkan, mereka selalu berteriak bahwa negara tak boleh mengatur urusan privat rakyatnya, seperti cara berpakaian, dan lain sebagainya yang dianggap sebagai hak privasi seseorang. Intinya, negara tak boleh mengintervensi jika ada masyarakat yang ingin menampakkan pusar, dada, ataupun paha di depan umum, dengan alasan privasi. Kelompok sekular ini kemudian berteriak lantang, “My body is my right, tubuhku adalah hakku“. Siapa pun tak berhak mengatur atau mengintervensi.
Kelompok Muslim liberal. Didefinisikan oleh Rand Corporation sebagai mereka yang meyakini bahwa kebenaran nilai-nilai Islam sejalan dengan demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, kebebasan individu, dan kesetaraan. Kelompok Muslim liberal ini, menurut Rand, bisa berasal dari kalangan muslim, yang berusaha membangun harmoni antara nilai-nilai Islam dengan dunia modern. Rand menyebut satu contoh sosok liberal yang berasal dari kalangan tradisionalis, yaitu Ulil Abshar Abdalla, tokoh dan penggerak Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kini berkiprah di Partai Demokrat.
Kelompok moderat tradisionalis dan kalangan sufi. Didefinisikan oleh Rand Corporation sebagai kelompok yang menentang gerakan Salafi dan Wahabi, yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai tradisi dan keyakinan kelompok sufi.
Untuk itu, kelompok tradisional moderat yang terpancing dengan adu domba musuh-musuh Islam, membuat propaganda tentang bahaya kelompok Salafi wahabi dan memunculkan kembali pertentangan soal-soal khilafiyah yang bersifat furu’ serta membuat beragam stigamatisasi, seperti mengampanyekan bahaya “Wahabisasi global”, bahaya “ideologi trans-nasional”, bahaya ”ideologi puritan radikal” dan lain sebagainya yang justru seperti menari di atas tabuhan genderang Barat yang memang berupaya memecah belah umat Islam.
Sedangkan kelompok sufi dirangkul untuk membentuk komunitas-komunita sufi perkotaan (urban sufism) dengan melakukan program-program kajian berkedok spiritual kebatinan dengan balutan nama keren seperti new age movement (gerakan era baru). Kelompok-kelompok ini mengajarkan meditasi, yoga, mind control, dan lain sebagainya. Islam, bagi mereka seolah hanya perkara batin saja, sehingga mereka membuang jauh-jauh ajaran Islam yang dianggap sebagai radikalisme dan kekerasan, seperti ajaran tentang jihad, hukum jinayat, amar makruf nahi munkar, dan lain sebagainya. Syariat dipahami sebagai lelaku batin, tidak dibarengi dengan praktek lahir.Inilah yang pada masa lalu dipropagandakan oleh orientalis Belanda, Snouck Hurgronje,yang merekomendasikan pada penjajah Belanda agar tidak mengganggu umat Islam yang sekadar menjalankan ritual agamanya saja, seperti shalat, zakat, shaum, haji, dan sebagainya, namun jangan biarkan jika mereka menumbuhkan kesadaran politik (polietik bewust)yang bisa menjadi ancaman bagi kolonial Belanda. Snouck seolah ingin mengatakan, jika umat Islam sudah tidak peduli lagi terhadap kesadaran politik, kesadaran tentang penyatuan agama dan negara, maka biarkan saja. Itu artinya, mereka telah terjebak dalam pusaran sekularisasi yang bisa menguntungkan penjajah.
Ironisnya, saat ini menjamur berbagai majelis-majelis zikir dengan massa yang tumpah ruah ketika menyelenggarakan acara, konvoi di jalan-jalan, ratusan bahkan ribuan jamaahnya, namun jarang sekali menyatakan sikap tegas dan keras untuk menyuarakan perlawanan terhadap liberalisme, pluralisme, sekularisme, aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah, dan sebagainya. Bahkan, hanya terlihat seperti kerumunan (crowd) yang sekadar unjuk kekuatan jumlah massa, namun tak memperlihatkan aksi nyata dalam membela hak-hak umat Islam dan akidah Islam yang teraniaya. Sebagian bahkan ada yang lebih memilih akrab dengan penguasa, meskipun penguasa tersebut tak pernah melindung akidah kaum muslimin dari berbagai pelecehan dan kesesatan. Sikap seperti ini bisa menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan mereka sudah terjebak dan terperangkap masuk menjadi “potential partner” asing sebagimana yang direkomendasikan Rand Corporation. Wallahu a’lam (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar