Jumat, 20 April 2012

Indonesia Tanpa Sepilis: Membongkar Makar Ideologi AS dan Kaki Tangannya (4)

Indonesia Tanpa Sepilis: Membongkar Makar Ideologi AS dan Kaki Tangannya (4)

Proyek liberalisasi yang dijalankan oleh kelompok liberal sejatinya adalah program asing untuk melumpuhkan negeri ini. Karenanya, kelompok liberal adalah agen-agen asing yang perlu diwaspadai!
Oleh:Artawijaya (Editor Pustaka Al-Kautsar)
Ketika menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu pernah menyatakan kepada media massa bahwa ada 60.000 intelijen asing yang berkeliaran di negeri ini. Pernyataan tersebut sempat menjadi perbincangan banyak khalayak. Maklum, yang menyatakan adalah petinggi tentara, bukan orang sembarangan. Artinya, sebagai KSAD tentu Ryamizard memiliki ribuan anggota di lapangan yang bisa mensuplai data valid terkait keberadaan agen asing tersebut. Lain halnya jika pernyataan tersebut berasal dari obrolan warung kopi, tentu tak bisa dipertanggungjawabkan.
Di tengah ramainya perbincangan mengenai hal tersebut, penulis berkesempatan mewawancari jenderal asal Palembang tersebut di rumahnya, di Kompleks Kostrad, Cijantung, Jakarta Timur. Ryamizard yang di kalangan anak buahnya dikenal sebagai “Jenderal Kiai” karena sikapnya yang rajin beribadah dan membangun sarana-sarana keislaman di lingkungan militer, kembali menegaskan pernyataannya soal adanya 60.000 spionase asing yang beroperasi di negeri ini. Ryamizard adalah sosok jenderal yang tidak disukai oleh Amerika Serikat, karena sikapnya yang tegas menolak segala bentuk intervensi asing.
Kepada penulis yang mewawancarai ketika itu, Jenderal Ryamizard mengatakan, yang dimaksud dengan agen asing itu adalah mereka yang bekerja untuk kepentingan asing. Mereka bisa saja orang Indonesia, berwajah khas Indonesia, namun menggadaikan harga dirinya demi uang dan ambisi politiknya dengan menjadi kaki tangan asing.”Agen itu kan orang sini juga. Kalau 60.000 intel asing, kan kulit dia beda sama kita, mudah diketahui dong. Tapi mereka adalah agen yang digarap,” ujarnya. (Lihat, Wawancara Khusus Majalah Sabili dengan Ryamizard Ryacudu berjudul, “Saya Tak Mau Dijajah Asing”, Edisi No.17, Th.XIII/9 Maret 2006)
Dalam wawancara selanjutnya, Ryamizard yang kandas menjadi Panglima TNI ini kembali menyatakan bahwa yang direkrut menjadi agen asing itu berasal dari bangsa kita sendiri.”Intelnya tidak terlalu banyak, tapi agennya itu banyak. Agennya orang kita. Secara fisik kita dikuasai; pemikiran, pendidikan, dan segala macam. Kita boleh bergaul dengan siapapun. Yang nggak boleh kita bergaul sama setan,” tegasnya. (Lihat, Wawancara Khusus Majalah Sabili dengan Ryamizard Ryacudu, Edisi No.13, Th. XIV/11 Januari 2007).
Pernyataan Ryamizard bukan tanpa dasar. Betapa hari ini agen-agen asing benar-benar berkeliaran, merusak ekonomi, budaya, tatanan sosial, pendidikan, bahkan ajaran-ajaran agama. Mereka bekerja by order, membuat proyek proposal untuk melakukan aksi-aksi yang merugikan bangsa ini, khususnya umat Islam. Diantara program mereka adalah “Proyek Liberalisasi” yang hari ini bisa kita saksikan langsung melalui kiprah LSM-LSM seperti Jaringan Islam Liberal, Salihara Institute, LibforAll Foundation, The Asia Foundation, dan beragam LSM sejenis lainnya yang jelas-jelasnya melakukan upaya-upaya destruktif terhadap ajaran-ajaran Islam.
Karena itu, mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuah Hukum Indonesia (YLBHI), Munarman, menyebut LSM seperti JIL telah melakukan “Subversif politik dan agama”, yang tidak hanya mengancam umat Islam, tapi bangsa ini secara keseluruhan.
Mengenai adanya dana asing yang masuk ke kantong JIL, Ulil Abshar Abdalla dalam wawancara dengan Majalah Suara Hidayatullah dengan terang-terangan mengatakan, “Setiap tahun kami mendapat sekitar Rp 1,4 milyar. Selain itu, JIL juga mendapatkan dana dari sumber-sumber domestik, Eropa, dan Amerika. Tapi yang paling besar dari TAF (the Asia Foundation). Tapi dana itu jauh lebih kecil daripada dana yang diperoleh ormas-ormas Islam lainnya,” ujar Ulil dalam wawancara tahun 2004. Sementara itu, menurut keterangan Munarman, dalam sebuah rapat di Daun Kafe, Cikini, pada 10 Februari 2012 lalu, ada perbincangan mengenai dana asing sebesar 61 miliar yang mengalir ke kelompok liberal.”Itu dari rapat pembicaraan mereka sendiri,” ujar Munarman.
Secara berturut-turut menurut data yang dilansir oleh Habib Rizieq Syihab dalam tulisannya berjudul “Liberal Antek Asing”, Indonesia mendapat kucuran dana dalam proyek membangun jaringan muslim moderat yang pro terhadap kepentingan AS. Dana tersebut secara beruntun: Tahun 2004 60 Juta USD, tahun 2005 78 juta USD, tahun 2006 84 juta USD, tahun 2007 96 juta USD, tahun 2008 143 juta USD, dan tahun 2009 184 juta USD. Dana tersebut menggelontor dengan tujuan agar para kaki tangan asing mampu menjalankan agenda-agenda mereka di negeri ini.
Sebelumnya, seperti diberitakan Harian The New York Time 20 Mei 1998, pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Bill Clinton melalui United State’s Agency for International Development (USAID) telah mengucurkan dana bagi kelompok oposisi di Indonesia sejak tahun 1995 yang berjumlah 26 juta USD. Sebagian uang tersebut dikabarkan masuk ke Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) yang dipimpin Adnan Buyung Nasution pada saat itu. Buyung adalah orang yang juga sinis terhadap gerakan Islam. Ia pernah mengecam fatwa MUI tentang Ahmadiyah, bahkan melecehkan tokoh MUI KH. Ma’ruf Amin dengan menyebutnya sebagai orang yang tak tahu malu. Bukan hanya itu, Buyung jugalah yang ketika menjadi Watimpres menantang umat Islam untuk datang menduduki istana negara.
Dugaan adanya dana asing yang mengalir ke kelompok liberal juga terlihat pada tayangan iklan masyarakat berjudul “Islam Warna-Warni“. Iklan yang dibuat oleh Komunitas Utan Kayu tersebut sempat tayang di SCTV dan RCTI pada tahun 2002 dan mendapat protes keras dari Majelis Mujahidin Indonesia. Bahkan, MMI yang saat itu dipimpin oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir melayangkan somasi agar iklan tersebut tidak tampil lagi di media massa. MMI menilai, muatan iklan “Islam Warna-Warni” mempunyai tujuan tertentu untuk mengesankan, kelompok yang sesat sekalipun, jika mengaku Islam maka harus dihargai. Di samping itu menurut MMI, Islam itu satu, yang beragam adalah wadah umat dalam beragam organisasinya.
Kelompok liberal, meski minoritas dan kecil, namun mendapat sokongan dana dan dukungan media massa yang besar. Jika ada masalah dalam kerja mereka di lapangan, maka media massa-media massa sekular siap untuk menjadi corong pembela mereka. Tak peduli, apakah pemberitaannya tersebut berimbang atau tidak, yang penting gunakan “bullet theory”, cecar terus dengan pemberitaan-pemberitaan yang menyudutkan umat Islam, sehingga masyarakat tercekoki dengan pemberitaan-pemberitaan yang bias, tidak imbang, dan menghakimi. Inilah yang menimpa Front Pembela Islam (FPI), salah satu ormas Islam yang sering menjadi bulan-bulanan media massa sekular. Antara kelompok liberal dan media massa sekular seolah berbagi peran: Ada yang bagian memprovokasi umat Islam lewat berbagai macam aksi dan pelecehan, kemudian ada yang siap-siap memblow-up dengan pemberitaan jika aksi tersebut menuai reaksi dari umat Islam. Inilah kerja makar jahat mereka!  (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar